Senin, 16 April 2018

Contoh Kasus Pelanggaran Etika Bisnis Pada Albothyl oleh Perusahaan PT PHAROS

Pendahuluan
Berita-berita mengenai pelanggaran etika bisnis mendorong ketertarikan untuk menelusuri lebih lanjut faktor-faktor yang mendorong dan dampak yang diakibatkan. Etika bisnis merupakan aspek moral dalam menjalankan bisnis. Masih banyak fenomena-fenomena dimana beberapa bisnis masih mengabaikan aspek moral. Banyak perusahaan yang hanya memikirkan keuntungan, menghindari kerugian, dan kekuatan bersaing sebagai satu-satunya tujuan dalam menjalankan bisnis sehingga faktor moral atau etika tidak lagi menjadi pertimbangan.
Dalam satu bulan terakhir ini sudah ada 3 produk yang izin edarnya ditarik oleh BPOM karena tidak sesuai ketentuan. Dimulai dari Viostin dan Enzyplex tanggal 5 Februari lalu karena terbukti mengandung DNA babi, kini Albothyl pun dibatalkan izin edarnya per tanggal 15 Februari setelah ada 38 laporan kasus terkait efek samping serius yang timbul akibat penggunaan Albothyl, oleh profesional kesehatan dalam dua tahun terakhir ini.
Perlu diketahui bahwa kualitas dan keamanan setiap produk obat maupun makanan yang beredar di Indonesia dikontrol oleh BPOM atau disebut juga post-market surveillancePost-market surveillance ini biasanya dilakukan dengan cara sampling (mengambil contoh produk langsung dari pasaran untuk diuji di laboratorium). Dan cara samplingini bisa dilakukan secara rutin (misalnya menjelang akhir tahun atau Idul Fitri) maupun secara mendadak jika diduga ada yang tidak sesuai ketentuan.
Etika bisnis adalah aturan-aturan yang menegaskan suatu bisnis boleh bertindak dan tidak boleh bertindak, aturan-aturan tersebut bersumber dari aturan tertulis maupun tidak tertulis (Fahmi, 2013:3). Jadi etika bisnis menyangkut baik atau buruknya perilakuperilaku manusia dalam menjalankan bisnisnya. Bisnis yang beretika harus dilihat dari tiga sudut pandang yaitu ekonomi, hukum, dan moral (Bertens, 2013: 25).
  1. Dari sudut pandang ekonomi, bisnis yang baik adalah bisnis yang menghasilkan keuntungan tanpa merugikan orang lain.
  2. Dari sudut pandang hukum, bisnis yang baik adalah bisnis yang tidak melanggar aturan-aturan hukum.
  3. Dari sudut pandang moral, bisnis yang baik adalah bisnis yang sesuai dengan ukuran-ukuran moralitas.
Keraf dalam Haurisa&Praptiningsih (2014: 1) mengemukakan lima prinsip dalam etika bisnis yaitu:
  1. Prinsip otonomi: kemampuan seseorang bertindak berdasarkan kesadaran dirinya sendiri tanpa pengaruh dari pihak lain.
  2. Prinsip kejujuran: sifat terbuka dan memenuhi syarat-syarat bisnis.
  3. Prinsip keadilan: bersikap sama secara objektif, rasional, dan dapat dipertanggungjawabkan.
  4. Prinsip saling menguntungkan: tidak ada pihak yang dirugikan dalam bisnis.
  5. Prinsip integritas moral: memenuhi standar moralitas.
Prinsip-prinsip tersebut dapat menjadi indikator untuk perusahaan yang melakukan usahanya sesuai etika bisnis. Salah satu prinsip yang tidak terpenuhi mengindikasikan adanya pelanggaran etika bisnis. Bertens (2013: 25) mengemukakan tiga ukuran moralitas dalam bisnis yang dapat digunakan untuk mengukur sudut pandang moral dan prinsip integritas moral, yaitu:
  1. Hati nurani; Setiap keputusan yang diambil menurut hati nurani adalah baik. Orang yang mengambil keputusan dengan mengingkari hati nuraninya, secara tidak langsung dia juga menghancurkan integritas pribadinya
  2. Kaidah emas; Kaidah emas berbunyi “hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana anda sendiri ingin diperlakukan” hal ini berarti, jika seseorang tidak ingin mendapat perlakuan buruk, maka jangan sampai memperlakukan orang lain dengan buruk.
  3. Penilaian umum; Perilaku bisnis yang oleh masyarakat umum dinilai baik, berarti bisnis tersebut etis. Namun, jika masyarakat umum menilai bisnis tersebut tidak baik, berarti bisnis tersebut tidak etis. Hal ini disebut juga audit sosial. Teori etika membantu dalam menentukan penilaian etis atau tidaknya suatu perilaku. Alasan benar atau tidaknya perilaku yang dilakukan seseorang dapat didukung dengan teori etika.
Ada 4 (empat) teori etika yang paling penting menurut Bertens (2013, 63) yaitu:
  1. Utilitarianisme; Menurut teori ini, perbuatan yang etis adalah perbuatan yang memberi manfaat untuk banyak orang. Kriteria untuk teori ini adalah the greatest happiness of the greatest number atau kebahagiaan terbesar yang dirasakan jumlah orang terbesar.
  2. Deontologi; Menurut teori ini, perbuatan yang baik bukan dinilai dari akibat atau tujuannya, namun karena perbuatan itu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan. Dengan kata lain, perbuatan yang baik adalah perbuatan yang dilakukan karena kewajiban dan perbuatan yang buruk adalah perbuatan yang dilarang untuk dilakukan
  3. Teori hak; Menurut teori ini, perbuatan yang etis adalah perbuatan yang tidak menyalahi atau melanggar hak-hak orang lain. Setiap orang memiliki hak untuk diperlakukan dengan baik, sehingga perbuatan yang etis harus memperlakukan orang lain dengan baik, tidak boleh ada hak-hak yang dilanggar.
  4. Teori keutamaan; Teori ini mengesampingkan tindakan mana yang etis dan tidak etis. Jika seseorang menganut paham egoisme, maka tindakan yang etis adalah tindakan yang bisa memenuhi keinginannya, jika tidak bisa memenuhi keinginannya maka tindakan yang dilakukan belum etis. Jadi menurut teori ini, etis atau tidaknya suatu perilaku adalah jawaban dari hati nuraninya sendiri.
Menurut Fahmi, (2013:9) permasalahan permasalahan umum yang terjadi dalam etika bisnis antara lain:
  1. Pelanggaran etika bisnis dilakukan oleh pihak-pihak yang mengerti etika bisnis. Dilakukan dengan sengaja karena faktor ingin mengejar keuntungan dan menghindari kewajiban-kewajiban yang selayaknya harus dipatuhi.
  2. Keputusan bisnis sering diambil dengan mengesampingkan norma norma atau aturan-aturan yang berlaku, misalnya Undang-Undang perlindungan Konsumen. Keputusan bisnis sering mengedepankan materi atau mengejar target perolehan keuntungan jangka pendek semata.
  3.  Keputusan bisnis sering dibuat secara sepihak tanpa memperhatikan atau bahkan tanpa mengerti ketentuan etik yang disahkan oleh lembaga yang berkompeten seperti Kode Etik Perhimpunan Auditor Internal Indonesia (PAAI), Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.01/2008/ tentang Jasa Akuntan Publik, Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 2 Tahun 2007 tentang Kode Etik BPK-RI, Kode Etik PsikologiIndonesia, Kode Etik Advokat Indonesia, dan lain sebagainya.
  4.  Kontrol dari pihak berwenang dalam menegakkan etika bisnis masih dianggap lemah. Sehingga kondisi ini dimanfaatkan untuk mencapai keuntungan pribadi atau kelompok.  KASUS 
    Dalam satu bulan terakhir ini sudah ada 3 produk yang izin edarnya ditarik oleh BPOM karena tidak sesuai ketentuan. Dimulai dari Viostin dan Enzyplex tanggal 5 Februari lalu karena terbukti mengandung DNA babi, kini Albothyl pun dibatalkan izin edarnya per tanggal 15 Februari setelah ada 38 laporan kasus terkait efek samping serius yang timbul akibat penggunaan Albothyl, oleh profesional kesehatan dalam dua tahun terakhir ini.
    Pada kasus Viostin dan Enzyplex, boleh dikatakan levelnya tidak sampai membahayakan pasien. Hanya tidak sesuai dengan ketentuan pelabelan produk, mengingat Indonesia adalah negara mayoritas Muslim sehingga produk yang mengandung babi harus mengikuti ketentuan khusus, seperti yang pernah saya jelaskan dalam artikel saya sebelumnya.
    Tapi untuk kasus Albothyl kali ini, tentunya dianggap sangat serius karena berkaitan dengan keselamatan pasien. Dalam 38 laporan kasus tersebut menunjukkan bahwa adanya efek samping Albothyl yang malah memperparah sariawan yang diderita pasien dan menyebabkan infeksi (noma like lession).
    Kejadian ini sedikit banyak menimbulkan pertanyaan dari masyarakat dan kalangan profesi kesehatan. Siapa yang salah? Produsen yang dianggap tidak serius dengan keamanan produknya atau regulator yang dianggap tidak cermat dalam mengevaluasi produk sebelum memberikan Nomor Izin Edar.
    Perlu diketahui bahwa kualitas dan keamanan setiap produk obat maupun makanan yang beredar di Indonesia dikontrol oleh BPOM atau disebut juga post-market surveillancePost-market surveillance ini biasanya dilakukan dengan cara sampling (mengambil contoh produk langsung dari pasaran untuk diuji di laboratorium). Dan cara samplingini bisa dilakukan secara rutin (misalnya menjelang akhir tahun atau Idul Fitri) maupun secara mendadak jika diduga ada yang tidak sesuai ketentuan.
    Namun tentunya, kontrol tidak hanya dilakukan oleh pihak regulator (dalam hal ini BPOM dan BBPOM) karena bisa dibayangkan bagaimana repotnya mereka mengontrol seluruh produk yang beredar di Indonesia beserta seluruh fasilitas produksinya. Oleh sebab itu, peran industri farmasi, profesional kesehatan di lapangan dan masyarakat awam juga diperlukan. Caranya? Ya dengan melaporkan kejadian tidak diinginkan (baik yang serius maupun tidak serius) yang timbul akibat penggunaan suatu obat atau yang dikenal dengan istilah Farmakovigilans. Apa lagi tuh?
    Farmakovigilans adalah seluruh kegiatan tentang pendeteksian, penilaian, pemahaman dan pencegahan efek samping atau masalah lainnya terkait dengan penggunaan obat. Pelaporan ini sifatnya bisa berupa Pelaporan spontan, Pelaporan Berkala Pasca Pemasaran (Periodic Safety Update Report), Pelaporan studi keamanan pasca pemasaran, Pelaporan publikasi/literatur ilmiah, Pelaporan tindak lanjut regulatori Badan Otoritas negara lain, pelaporan tindak lanjut pemegang izin edar di negara lain, dan/atau Pelaporan dari perencanaan Manajemen Resiko.
    Analisis
    Dari kasus Albothyl ini, kita tentunya sangat prihatin atas banyaknya pasien yang telah dirugikan. Tapi kita tidak perlu juga saling menyalahkan dan mempertanyakan kompetensi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Berkaca dari kasus Thalidomide, penarikan produk obat karena efek samping yang muncul meskipun produk tersebut sudah lama beredar di pasaran sangat mungkin terjadi.
    Hal ini tentunya dipengaruhi faktor sensitivitas dan reaksi setiap orang yang berbeda terhadap suatu obat. Farmakovigilans boleh dibilang tidak hanya dilakukan selama beberapa tahun terhadap suatu obat setelah disetujui izin edarnya, melainkan selama produk tersebut beredar di pasaran.
    Dari kasus diatas terlihat bahwa perusahaan melakukan pelanggaran etika bisnis dilihat dari  sudut pandang ekonomi yaitu perusahaan di untungkan tetapi banyak orang yang di rugikan dan perusahaan tidak memenuhi dari prinsip dari etika bisnis yaiu prinsip kejujuran. Perusahaan tidak terbuka dan memenuhi syarat-syarat bisnis dan Mengenyampingkan aspek kesehatan konsumen dan membiarkan penggunaan zat berbahaya dalam produknya. Albothyl yang beredar di pasaran saat ini mengandung zat bernama Policresulen dengan konsentrasi 36%. Policresulen adalah senyawa asam organik (polymolecular organic acid) yang diperoleh dari proses kondensasi formalin (formaldehyde) dan senyawa meta-cresolsulfonic acid. Policresulen yang diaplikasikan pada sariawan akan menyebabkan jaringan pada sariawan menjadi mati. Itulah alasan kenapa saat albothyl digunakan pada sariawan akan terasa sangat perih, namun kemudian rasa perih hilang dan sakit pada sariawan pun tidak lagi terasa. Bagi Anda yang pengalaman memakai obat ini mungkin akan menyaksikan sendiri sesaat setelah albothyl digunakan sariawan akan menjadi berwarna putih dan kering. Jadi sebenarnya policresulen ini tidak mengobati sariawan melainkan mematikan jaringan yang sakit atau rusak tersebut. Ketika jaringan sariawan sudah mati, maka tubuh akan melakukan regenerasi sel-sel baru sehingga sariawan menjadi sembuh.

    Kesimpulan
    Banyaknya kasus pelanggaran di dalam etika berbisnis membuat kita sadar bahwa masih banyak nya produsen produsen nakal yang hanya memikirkan materi tanpa memikirkan dampak apa yang telah diperbuat, pemerintah seharusnya lebih teliti terhadap pengawasan peredaran barang barang yang beredar dan harus  lolos uji seleksi. Dan untuk masyarakat kita mengajak untuk selalu peduli terhadap apa yang di nilai kurang baik. Farmakovigilans tidak hanya dilaksanakan oleh industri farmasi tetapi juga didukung oleh masyarakat awam dan profesional kesehatan di lapangan. Bagi masyarakat awam, jika menemukan atau mengalami kejadian yang tidak diinginkan setelah mengkonsumsi suatu obat, bisa menghubungi produsen dan melaporkan kejadian yang dialami (kecuali kejadian serius yang memerlukan penanganan segera ke klinik atau rumah sakit). Biasanya produsen memiliki nomor kontak layanan keluhan konsumen. Keluhan-keluhan ini akan ditindaklanjuti oleh bagian Farmakovigilans di setiap perusahaan atau produsen.
    Bagi profesional kesehatan lain, pelaporan ini bisa dilakukan dengan mengisi Form Kuning (Formulir Pelaporan Efek Samping Obat) pada website e-meso.pom.go.id. Untuk kemudian dikirimkan ke Pusat Farmakovigilans / MESO (Monitoring Efek Samping Obat) Nasional, Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT Badan POM RI.
    MESO yang dilakukan di Indonesia, bekerja sama dengan WHO-Uppsala Monitoring Center (Collaborating Center for International Drug Monitoring) yang bertujuan untuk memantau semua efek samping obat yang dijumpai pada penggunaan obat. Hasil semua evaluasi yang terkumpul akan digunakan sebagai materi untuk melakukan re-evaluasi atau penilaian kembali pada obat yang telah beredar untuk selanjutnya menerapkan tindakan pengamanan yang diperlukan.




    sumber :
    Bertens, K . 2013. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta : Kanisius .
    Fahmi, I . 2013. Etika Bisnis: Teori, Kasus, dan Solusi. Bandung: Alfabeta.
    Haurissa, L.J.,dan Praptiningsih, M. 2014. Analisis Penerapan Etika Bisnis pada PT Maju Jaya di Pare Jawa Timur. Agora Vol. 2, No. 2.
    http://caramanjur.com/alasan-bpom-larang-albothyl-efek-samping-bahaya-kandungan.
    https://www.kompasiana.com/irmina.gultom/5a87b8a616835f50501363e3/kasus-albothyl-bukti-   berjalannya-farmakovigilans-di-indonesia.
    Meilina, R. (2016). FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELANGGARAN ETIKA BISNIS Restin Meilina Universitas Nusantara PGRI Kediri Pendahuluan, 14(2), 119–126.
    https://muhammadmaulanablog.wordpress.com/